Di sebuah tempat nun jauh di rimba belantara. Hiduplah beberapa jenis tanaman hijau menyerupai permadani. Tanaman hijau itu bernama rumput Teki milik seorang nenek berusia 80 tahun. Sebut saja bernama nenek Dingin. Nenek Dingin tinggal sebatang kara berkarib dengan hewan liar dan tanaman. Lewat tangan dingi
nnya semua merasa bisa hidup nyaman. Di pondok kecilnya yang selalu bersih, nenek Dingin mempunyai lahan seluas 100 meter, satu-satunya pondok dengan area yang mendapat sinar matahari secara langsung. Itu sebabnya nenek Dingin tak pernah sakit. Cahaya matahari dan sejuk dari hutan rimba silih berganti memberikan aura sehat bagi nenek Dingin.
Areal pondok nenek dikelilingi rumput hijau yang tertata apik. Nenek memberi nama rumput Teki. Tak jauh dari rumput mendekati hutan, di bawah pohon tua beringin dan kepel, ada mata air yang ditumbuhi lumut hijau. Lumut yang juga mengerti keindahan ini membentuk hijau menawan tumbuh di atas bebatuan, nenek Dingin menamainya Lumutan. Sementara di seberangnya, tepat bersebelahan dengan rumput cantik itu ada rumput nakal bernama Koreng.
Ketiga jenis rumput itu telah menyatu di hati nenek, seperti layaknya seorang ibu kepada ketiga anaknya.
Pagi itu saat nenek tengah istirahat di pondoknya. Koreng mengganggu rumput Teki. Meminta bantuan angin dia jatuhkan tubuhnya di antara hamparan rumput Teki yang tertata rapi. Sontak rumput Teki yang sedang beranjangsana sesama rumput Teki lainnya merasa terganggu. Rumput Teki yang merasa tertindih Koreng menjerit kesakitan.
“Aduh! Koreng! Apa yang kau lakukan, segera pergi, sakit sekali. Aduuuh. Tolooong!”
Koreng tertawa senang, bukan berpindah atau kembali pulang, Koreng malah mengeraskan himpitan, hal ini diikuti teman-temannya sesama Koreng. Mereka menyebar mengganggu rumput Teki hingga timbul kegaduhan.
Lumutan yang bijak, mulai merasakan hal yang tak wajar setelah melihat kawanan Koreng semakin banyak mengganggu rumput Teki, mulai angkat bicara.
“Koreng, enyahlah. Bermainlah di lingkungan yang telah nenek Dingin sediakan. Kau tahu bila kau lakukan itu pada rumput Teki, akar-akarmu mengambil asupan. Bagaimana rumput Teki bisa menghijau?”
“Ah, Lumutan tua. Sok tahu kau. Pikirkan saja dirimu yang tak mampu bermain-main di tempat nyaman. Nikmati saja dirimu selalu dengan hidup kekerasan di atas bebatuan. Kami senang di sini banyak makanan.”
“Ya, tapi rumput Teki dirawat nenek Dingin untuk menghasilkan obat.”
“Hah. Apa perduliku. Bukan urusanku.” Seru Koreng sambil terbahak-bahak.
Lumut tak tinggal diam, lewat bebatuan yang mengarah ke rumah nenek Dingin, dia membawa pesan berantai. Syukurlah, nenek Dingin segera paham. Nenek Dingin keluar rumah dan segera memisahkan Koreng dengan menariknya sampai ke akar.
Lumutan membantu Nenek Dingin dengan memerintahkan agar bebatuan membentuk dinding pembatas antara rumput Teki dan Koreng, dengan santai lumut mengawasinya di dinding bebatuan agar tak ada Koreng yang meloncat ke hamparan rumput Teki.
Rumput Teki merasa nenek Dingin menyiramnya dengan serbuk asin. Bertanyalah rumput Teki pada nenek Dingin,
“Nek, apa ini, rasanya asin sekali?”
“Ini garam halus sayang, akan menjagamu dari Koreng. Koreng tak akan tahan dengan asinmu.”
“Terima kasih Nek, aku suka, rasa asinnya membuat sejuk.”
Akhirnya, suasana kembali tenang. Koreng kembali ke tempatnya. Lumutan bersahaja memandangi kedamaian. Begitu juga rumput Teki kembali asyik bercengkerama.
Adik-adikku tersayang, betapa indah bukan kedamaian tanpa saling mengganggu. Nikmati dan syukuri apa yang kalian miliki, hindarilah sifat iri. Kalau selalu iri dengan apa yang orang lain punya, hati tak akan tenang. Selalu mencari jalan untuk saling menjatuhkan. Dengan bersyukur dengan apa yang kita miliki, bersibuk diri berbenah diri menjadi lebih baik lagi, tidak usil dengan kesenangan orang. Tidak merasa paling pintar atau hebat sehingga segala tindakannya merasa benar, tentu tidak akan ada pikiran setiap yang kau pandang salah, menyebalkan, maka hidup kita akan tenang.
nnya semua merasa bisa hidup nyaman. Di pondok kecilnya yang selalu bersih, nenek Dingin mempunyai lahan seluas 100 meter, satu-satunya pondok dengan area yang mendapat sinar matahari secara langsung. Itu sebabnya nenek Dingin tak pernah sakit. Cahaya matahari dan sejuk dari hutan rimba silih berganti memberikan aura sehat bagi nenek Dingin.
Areal pondok nenek dikelilingi rumput hijau yang tertata apik. Nenek memberi nama rumput Teki. Tak jauh dari rumput mendekati hutan, di bawah pohon tua beringin dan kepel, ada mata air yang ditumbuhi lumut hijau. Lumut yang juga mengerti keindahan ini membentuk hijau menawan tumbuh di atas bebatuan, nenek Dingin menamainya Lumutan. Sementara di seberangnya, tepat bersebelahan dengan rumput cantik itu ada rumput nakal bernama Koreng.
Ketiga jenis rumput itu telah menyatu di hati nenek, seperti layaknya seorang ibu kepada ketiga anaknya.
Pagi itu saat nenek tengah istirahat di pondoknya. Koreng mengganggu rumput Teki. Meminta bantuan angin dia jatuhkan tubuhnya di antara hamparan rumput Teki yang tertata rapi. Sontak rumput Teki yang sedang beranjangsana sesama rumput Teki lainnya merasa terganggu. Rumput Teki yang merasa tertindih Koreng menjerit kesakitan.
“Aduh! Koreng! Apa yang kau lakukan, segera pergi, sakit sekali. Aduuuh. Tolooong!”
Koreng tertawa senang, bukan berpindah atau kembali pulang, Koreng malah mengeraskan himpitan, hal ini diikuti teman-temannya sesama Koreng. Mereka menyebar mengganggu rumput Teki hingga timbul kegaduhan.
Lumutan yang bijak, mulai merasakan hal yang tak wajar setelah melihat kawanan Koreng semakin banyak mengganggu rumput Teki, mulai angkat bicara.
“Koreng, enyahlah. Bermainlah di lingkungan yang telah nenek Dingin sediakan. Kau tahu bila kau lakukan itu pada rumput Teki, akar-akarmu mengambil asupan. Bagaimana rumput Teki bisa menghijau?”
“Ah, Lumutan tua. Sok tahu kau. Pikirkan saja dirimu yang tak mampu bermain-main di tempat nyaman. Nikmati saja dirimu selalu dengan hidup kekerasan di atas bebatuan. Kami senang di sini banyak makanan.”
“Ya, tapi rumput Teki dirawat nenek Dingin untuk menghasilkan obat.”
“Hah. Apa perduliku. Bukan urusanku.” Seru Koreng sambil terbahak-bahak.
Lumut tak tinggal diam, lewat bebatuan yang mengarah ke rumah nenek Dingin, dia membawa pesan berantai. Syukurlah, nenek Dingin segera paham. Nenek Dingin keluar rumah dan segera memisahkan Koreng dengan menariknya sampai ke akar.
Lumutan membantu Nenek Dingin dengan memerintahkan agar bebatuan membentuk dinding pembatas antara rumput Teki dan Koreng, dengan santai lumut mengawasinya di dinding bebatuan agar tak ada Koreng yang meloncat ke hamparan rumput Teki.
Rumput Teki merasa nenek Dingin menyiramnya dengan serbuk asin. Bertanyalah rumput Teki pada nenek Dingin,
“Nek, apa ini, rasanya asin sekali?”
“Ini garam halus sayang, akan menjagamu dari Koreng. Koreng tak akan tahan dengan asinmu.”
“Terima kasih Nek, aku suka, rasa asinnya membuat sejuk.”
Akhirnya, suasana kembali tenang. Koreng kembali ke tempatnya. Lumutan bersahaja memandangi kedamaian. Begitu juga rumput Teki kembali asyik bercengkerama.
Adik-adikku tersayang, betapa indah bukan kedamaian tanpa saling mengganggu. Nikmati dan syukuri apa yang kalian miliki, hindarilah sifat iri. Kalau selalu iri dengan apa yang orang lain punya, hati tak akan tenang. Selalu mencari jalan untuk saling menjatuhkan. Dengan bersyukur dengan apa yang kita miliki, bersibuk diri berbenah diri menjadi lebih baik lagi, tidak usil dengan kesenangan orang. Tidak merasa paling pintar atau hebat sehingga segala tindakannya merasa benar, tentu tidak akan ada pikiran setiap yang kau pandang salah, menyebalkan, maka hidup kita akan tenang.
Komentar
Posting Komentar